Sunday, December 14, 2008

Pesan Rasulullah untuk Gubernur Mesir

Hatib melewati jalan yang jauh. Saat ini dia telah tiba di Laut Merah dan sedang menanti sebuah kapal untuk membawanya ke seberang lautan. Hatib bermaksud pergi ke kota Iskandariah karena ia membawa sebuah surat penting dari Rasulullah saaw untuk Gubernur Mesir. Adakalanya rasa khawatir menyergap ke dalam jiwanya. Dia mengkhawatirkan kemampuannya sendiri untuk dapat menyempaikan kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah kepada Gubernur Mesir. Dia berpikir sendirian tentang cara yang harus dilakukannya dalam menyampaikan surat Rasulullah kepada gubernur Mesir. Dia mereka-reka sendiri, ucapan apa yang pertama kali harus disampaikannya dan bagaimana caranya agar ia bisa menyampaikan pesan Rasulullah tanpa ada kekurangan sedikitpun.
Hatib adalah seorang lelaki mukmin yang bijaksana dan penuh keimanan. Setiap kali dia merasa ragu dan bimbang, dia akan membaca ayat Al-Quran agar jiwanya menjadi tenteram. Akhirnya, sepanjang perjalanan, ia terus-menerus membaca Al-Quran hingga akhirnya dia tiba di Iskandariah, ibu kota Mesir. Hatib langsung pergi ke istana Gubernur Mesir dan meminta izin untuk bertemu dengannya. Gubernur Mesir yang bernama Muqauqis sebelumnya telah mendengar tentang munculnya seorang Rasul di bumi Hijaz. Saat mendengar bahwa seorang utusan Rasul telah datang untuk menemuinya, segera saja dia memerintahkan agar Hatib dibawa ke hadapannya. Hatib melangkah masuk dengan penuh ketenangan dan keyakinan. Ketika dia telah sampai ke hadapan Muqauqis, dengan penuh sopan, ia memberikan salam dan berkata:
“Aku diutus oleh Muhammad, rasulullah. Aku membawa sekeping surat untukmu”
Muqouqis mengambil surat itu, kemudia ia membuka dan membacanya:
“Bismillah rhn rhm, dari Muhammad, anak Abdullah kepada Muqouqis, pemimpin rakyat Mesir. Salam bagi para pengikut hidayah. Aku menyeru engkau kepada agama Islam. Engkau akan selamat dan aman jika engkau masuk Islam. Wahai ahli kitab, kami mengundang engkau untuk kembali kepada keyakinan asal di mana antara kami dan engkau adalah sama, bahwa kita tidak menyembah selain dari Tuhan dan kita tidak menyekutukannya. Sebagian dari kami tidak menuhankan sebagian yang lain. Oleh karena itu, jika Ahli Kitab tidak menerimanya, maka katakanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam.”
Selepas membaca surat itu, Gubernur Mesir tenggelam dalam pikirannya. Sebelumnya, dia telah membaca di dalam Injil dan kitab-kitab agama Kristen yang lain, bahwa Nabi Isa as telah memberitahu umatnya mengenai kedatangan nabi yang terakhir. Di sisi lain, dia juga telah mendengar berita mengenai kepribadian, perilaku, dan sifat Rasulullah, yang membuat dia menyadari bahwa bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Namun, kekuasaan dan kedudukan yang dimilikinya sebagai Gubernur Mesir, membuatnya enggan untuk mengakui hakikat ini. Setelah beberapa saat merenung dan berdiam diri, Muqauqis bertanya kepada Hatib:
“Jika Muhammad memang benar-benar utusan Tuhan, mengapa penentangnya berhasil mengusirnya keluar dari kota Mekah dan dia terpaksa tinggal di Madinah? Mengapa dia tidak melaknat mereka agar mereka hancur dan musnah? Nabi Isa adalah seorang Nabi dan engkau adalah pengikut ajaran Isa. Mengapa ketika orang-orang Yahudi berencana untuk membunuhnya, Nabi Isa tidak melaknat mereka agar Tuhan menghancurleburkan mereka?”
Gubernur Mesir tercengang ketika mendapatkan jawaban yang sedemikian logis dan berani. Iapun memuji-muji Hatib:
“Bagus, bagus, engkau adalah seorang lelaki yang berpengetahuan luas dan sesungguhnya engkau memang datang dari seorang lelaki yang berpengetahuan.”
“Wahai Gubernur Mesir, sebelum engkau menjadi gubernur di sini, seseorang bernama Firaun telah menjadi pemimpin Mesir dan dia menganggap dirinya sebagai Tuhan. Lalu Tuhan telah menghancurkan mereka supaya kehidupan mereka dijadikan pelajaran buat kalian. Kini, berusahalah supaya kalian tidak menjadi contoh buruk kepada orang lain.”
Mendengar perkataan Hatib, Muqouqis kembali tenggelam dalam pikirannya. Dia terlihat seperti orang yang bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya serta apa yang harus dikatakannya kepada Hatib. Muqouqis kemudian mengangkat kepalanya dan menatap mata Hatib. Dari cahaya mata lelaki muslim itu, ia dapat merasakan dengan jelas keikhlasan dan kejujurannya. Kemudian, Hatib sekali lagi memecahkan kesunyian dengan berkata:
“Para pemimpin Mekah bersikap keras terhadap Muhammad dan memeranginya. Orang-orang Yahudi dengan sikap dengki memusuhinya. Tetapi, kelompok yang paling dekat dengan Muhammad ialah orang-orang Kristen, karena Isa al Masih telah menyampaikan berita tentang kedatangan nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad. Kini kami menyeru kalian untuk mematuhi Muhammad dan mengikuti Al-Quran. Setiap bangsa yang mendengarkan seruan Nabi haruslah mengikutinya.”
Perbincangan Hatib, utusan Rasulullah dengan pemimpin Mesir telah berakhir. Tetapi, Muqouqis tidak memberikan jawaban yang diinginkan. Hatib selama beberapa hari menanti jawaban surat dari Gubernur Mesir untuk dibawanya kepada Rasulullah saaw. Akhirnya, suatu hari Muqouqis meminta Hatib untuk menemuinya. Muqouqis berkata:
“Dari kata-katamu, aku memahami bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir, tetapi jika aku memeluk agamamu, rakyatku akan membenciku dan menolakku sebagai pemimpin. Aku berharap semoga rakyat Mesir dapat mengambil manfaat dari kedatangan Nabi Muhammad dan agama Islam. Oleh karena itu, rahasiakanlah perbincangan antara aku dan engkau.
Kemudian Muqouqis memerintahkan seseorang dari penulisnya yang memahami bahasa Arab untuk menulis surat buat Rasulullah saw, yang isinya sebagai berikut:
“Kepada Nabi Muhammad putra Abdullah, dari Muqouqis gubernur Mesir. Salam bagimu. Aku telah membaca suratmu dan aku telah memahami maksudmu dan hakikat dari seruanmu. Aku menyambut baik kedatangan utusanmu.”
Muqouqis juga menulis tentang hadiah yang disertakan bersama surat tersebut dan mengakhiri surat tersebut dengan kalimat “Salam Bagimu”. Dengan demikian, Muqouqis dalam hatinya telah menerima seruan nabi, tetapi dia menghindar untuk mengungkapkannya secara terang-terangan. Hatib pun kemudian diantarkan ke Syam oleh sebagian pengawal Muqouqis. Dari Syam, Hatib melanjutkan perjalanan ke Madinah. Sesampainya di Madinah, Hatib segera Hatib menyerahkan surat Muqouqis. Setelah membaca surat Muqouqis, Rasulullah saw memandang ke kejauhan dan bersabda:
“Islam akan segera menyebar di bumi Mesir.”

Rasulullah SAW dengan Pengemis Yahudi Buta

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”. Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, “anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah Itu?”, tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “siapakah kamu ?”. Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa”. “Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

Sebungkus Kurma Abu Aqil

Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Abu Aqil sedemikian resah seperti hari itu. Dia tenggelam dalam fikirannya tanpa mempedulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia seolah-olah tidak mendengar bunyi apapun dan tidak melihat sesuatupun. Dia melangkah ke arah rumahnya dengan cepat. Matanya memandang tanah dan mulutnya kelihatan komat-kamit mengatakan sesuatu. Dia melewati lorong sempit sebelum akhirnya tiba ke rumahnya. Dengan menarik nafas yang dalam, Abu Aqil lalu bersandar di sebatang pohon tua di tengah halaman rumah.
Isterinya menyadari kekhawatiran yang melanda suaminya itu dan bertanya, “Suamiku, apa yang terjadi?” Abu Aqil kemudian berjalan masuk ke rumahnya. Karena kelelahan, dia bersandar ke dinding rumahnya, lalu berkata, “Musuh Tuhan berniat untuk memerangi kita. Tentara muslim sudah disiagakan untuk melawan musuh. Tetapi, tentara kita tidak punya bekal dan makanan. Kami sedang berada di masjid ketika Nabi membacakan sebuah ayat suci Al-Quran dan meminta kaum muslimin untuk memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing kepada tentara Islam.”
Isteri Abu Aqil bertanya, “Apakah bunyi ayat itu?” Abu Aqil menutup matanya dan setelah berpikir sejenak, dia membaca ayat ke-11 dari surat Al-Hadiid yang artinya, “Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, akan diberi Allah balasan pinjaman yang berlipatganda dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Isterinya dengan pandangan kecewa menatap lantai ruangan kamar dan berkata, “Engkau adalah pemimpin rumah ini dan engkau lebih mengetahui bahwa kita tidak punya harta dan simpanan apapun untuk kita berikan di jalan Tuhan. Abu Aqil menjawab, “Tetapi, kita harus turut melibatkan diri dalam tugas ini. Tidakkah engkau ketahui bahwa perbuatan ini disenangi oleh Tuhan dan Rasul-Nya?”
Abu Aqil melanjutkan perkataannya, “Ayat ini sangat menyentuh perasaanku sehingga aku segera pulang ke rumah. Hari ini semua orang Islam membawa apa yang mereka miliki kepada Nabi Muhammad saaw agar permintaan Tuhan terpenuhi.” Isterinya tersenyum dan dia mengambil salah satu bejana dan mengeluarkan segenggam kurma sambil berkata kepada Abu Aqil, “Kita mempunyai sedikit kurma. Ambillah dan berikan kurma ini kepada Nabi.”
Abu Aqil tertegun dan mengguman sendirian, “Apa yang bisa diperbuat dengan kurma ini? Tetapi ini lebih baik daripada tidak memberi sesuatupun.” Isterinya lantas menaruh kurma itu dalam sebuah kain bersih dan memberikannya kepada Abu Aqil. Dengan gembira, Abu Aqil berkata, “Meskipun kurma ini tidak tampak berguna tetapi ia dapat dimanfaatkan di medan perang.”
Halaman kecil masjid ramai dipenuhi umat muslimin. Abu Aqil berada di antara mereka. Dengan langkah yang lemah, dia memperhatikan bahwa ada beberapa ekor biri-biri, kambing, dan unta terikat di luar masjid. Abu Aqil menyadari bahwa hewan-hewan itu merupakan hadiah dari orang ramai. Dia juga melihat orang-orang yang berkumpul di dalam masjid dengan hadiah besar dan kecil di tangan mereka. Abu Aqil merapatkan bungkusan yang berisi kurma ke dadanya dan dia berjalan masuk ke dalam masjid.
Melihat banyaknya kaum muslimin yang berdatangan menyerahkan hadiahnya kepada Nabi SAWW, kaum munafikin merasa tidak senang, dan muncul kebencian di dalam hati mereka, yang mendorong mereka untuk mengejek setiap orang yang menyerahkan sedekah dan bantuan kepada Nabi. Orang yang memberikan bantuan dalam jumlah besar, mereka ejek sebagai pamer, tidak ikhlas dan mengharap pujian. Sedangkan orang yang memberikan bantuan dalam jumlah sedikit, mereka ejek dengan mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya tidak memerlukan bantuan kamu.”
Melihat sikap orang-orang munafik itu, Abu Aqil sempat beberapa kali ingin mengambil keputusan untuk pulang ke rumahnya dan menjauhkan diri dari pandangan para pengganggu itu. Tetapi ada kekuatan dalam dirinya yang menghalanginya untuk pulang. Akhirnya dia duduk diam-diam di sudut masjid. Dilihatnya Nabi Muhammad SAWW duduk di tepi mihrab dan menerima hadiah-hadiah dari umatnya. Dia berharap dalam hati, alangkah baiknya jika dia mempunyai simpanan yang lebih pantas untuk diberikan kepada Nabi.
Tiba-tiba, masjid yang semula dipenuhi dengan suara ramai dilanda kesepian dan kesunyian. Abu Aqil memandang kepada Rasulullah. Rupanya, Rasul sedang menerima wahyu. Rasulullah SAWW menutup mata dan wajahnya seolah-olah sedang tenggelam dalam cahaya yang bersinar. Semua sahabat memahami keadaan Nabi ini dan menanti sampai Rasul selesai menerima wahyu.
Rasulullah kemudian membuka matanya dan dengan langkah yang perlahan beliau bergerak ke arah Abu Aqil. Jantung Abu Aqil berdebar-debar dan dia berusaha untuk menyembunyikan bungkusan kurmanya. Lalu, terdengar suara Rasulullah yang memecah kesunyian masjid, “Wahai manusia, baru saja Jibril menyampaikan wahyu dari Allah kepadaku. Ketahuilah bahwa para malaikat yang berada di langit, memandang bumi untuk menyaksikan pinjaman siapakah yang terbaik di sisi Tuhan.”
Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke atas pundak Abu Aqil dan berkata, “Ketahuilah, hadiahmu lebih berharga dari emas di sisi Tuhan. Orang munafik yang mencelamu dan menyebabkan hatimu sakit, kelak akan diberi azab. Wahai Abu Aqil, para malaikat sedang menanti, berikan hadiah itu kepadaku dan ketahuilah bahwa Allah ingin agar aku menggembirakanmu. Engkau hari ini disenangi oleh Allah.”
Abu Aqil masih tidak percaya, dia merasa seolah-olah sedang bermimpi, sebuah mimpi yang amat manis. Rasulullah dengan penuh kasih sayang mengambil bungkusan kurma tersebut dari tangannya dan membelai kepala Abu Aqil. Ketika itu pula Rasul membacakan ayat ke-79 surah Taubah yang artinya, “Orang-orang munafik yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela orang-orang yang tidak memiliki apapun untuk disedekahkan selain dari yang disanggupinya. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dan bagi mereka azab yang pedih.

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.

“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”. (QS 49: 13).

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.

Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.

Asal Kejadian Perempuan

Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?

Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.

Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa’:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:

Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).

Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.

Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim.”

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.

Dalam Surah Al-Isra’ ayat 70 ditegaskan bahwa:

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.

Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali’Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa “sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya.” Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya.

Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:

Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).

Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:

Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan “buruk”-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).

Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.

Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya … (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya … (QS 2:36).

Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?” (QS 20:120).

Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.

Hak-hak Perempuan

Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.

Secara umum surah Al-Nisa’ ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:

Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.

Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik

Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

Kata awliya’, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.

Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:

Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.

Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.

Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.

Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).

Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.

Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.

Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat –termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.

Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay’at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.

Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay’at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.

Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa’ ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan… sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena –kata mereka– kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu.

Ayat Al-Nisa’ 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a.

Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan

Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.

Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.

Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.

Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:

Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).

Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.

Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:

Sebaik-baik “permainan” seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Abdullah bin Rabi’ Al-Anshari).

Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: “Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki.”

Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.

Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.

Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa “setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain”. Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.

Hak dan Kewajiban Belajar

Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,

Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).

Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:

Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).

Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.

Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:

Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan…” (QS 3:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.

Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:

Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (Aisyah).

Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa’ (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.

Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu’nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa’, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.

Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.

Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.

Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.

Dalam hal ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menulis: “Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.”

Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.

Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa’iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32). Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.

Sumber :

MEMBUMIKAN AL-QURAN

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat

Dr. M. Quraish Shihab

Nasihat Imam Ghozali

Suatu hari Imam Al-Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya, lalu Imam Al-Ghozali bertanya kepada murid-muridnya tersebut :

1. Apa yang paling dekat dengan diri kita didunia ini…?
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman dan kerabatnya, Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (Ali Imran 185). lalu Imam al Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua :

2. Apa yang paling jauh dari diri kita didunia ini…?
Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari dan bintang. Lalu Imam Al Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan benar, tetapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Sebab bagaimanapun, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

3. Apa yang paling besar di dunia ini…?
Murid-muridnya menjawab gunung, bumi, matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Al Ghozali, tetapi yang paling benardari yang ada didunia ini adalah “NAFSU” (Al-A’Raf 179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai membawa kita ke neraka.

4. Apa yang paling berat didunia…?
Ada yang yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar kata Imam Al Ghozali. Tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung dan Malaikat semua tidak mampu ketika ALLAH SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari mereka yang masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

5. Apa yang paling ringan didunia ini…?
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar tapi yang paling ringan didunia ini adalah “MENINGGALKAN SHOLAT”. Gara-gara pekerjaan kita tinggakan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.
Lantas pertanyaan keenam adalah.:

6. Apakah yang paling tajam didunia ini…?
Murid-muridnya mnjawab serentak, pedang. “Benar ….. ” kata Imam Al Ghozali. Tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” karena dengan lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan perasaan saudaranya sendiri.

Riwayat Hidup Imam An-Nawawi

Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam bukunya Tadzkiratul Huffadz (juz.4, hal. 1472) dan Ibnu Qadhi Syuhbah dalam Thabaqotus Syafi’iyyah (juz. 2, hal. 194) di dalam bab biografi Imam Nawawi berkata :

Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidz Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarf bin Muri bin Al-Hizami Al-Haurani As-Syafi’i, penulis banyak kitab, lahir pada bulan Muharram 631 H di kota Nawa (oleh sebab itu beliau dikenal dengan An-Nawawi). Beliau menginjakkan kakinya di kota Baghdad pada tahun 649 H dan tinggal di sekolah Ar-Ruhiyyah. Setiap harinya beliau hanya makan sedikit roti yang dibagikan di sekolah tersebut.

Beliau pernah berkata, "Kurang lebih dua tahun saya tinggal di sekolah Ar-Ruhiyyah dan selama itu pula saya tidak pernah tidur berbaring." Dalam waktu empat setengah bulan beliau berhasil menghafalkan kitab At-Tanbih dan dalam waktu tujuh setengah bulan beliau berhasil menghafalkan kitab seperempat kitab Al-Muhadzdzab. Beliau sempat mengoreksi hafalan beliau tersebut di depan gurunya As-Syeikh Kamal Ishaq bin Ahmad.

Salah seorang murid beliau As-Syeikh Abu Hasan bin Al-Atthar pernah mendengar dari beliau bahwa beliau Imam Nawawi setiap harinya membaca 12 materi pelajaran dengan men-syarah dan men-tashih di hadapan guru-gurunya yaitu 2 materi dari kitab Al-Wasith (Figih), 1 materi dari kitab Al-Muhadzdzab (Figih), 1 materi dari kitab Al-Jam’u baina Sahihain (Metodologi Hadits), 1 materi dari kitab Shahih Muslim (Hadits), 1 materi dari kitab Al-Luma’ karya Ibnu Jinni (Nahwu), 1 materi tentang Ishlahul Mantiq (Etimologi), 1 materi di bidang Shorof, 1 materi di bidang Ushul Figih (terkadang membaca kitab Al-Luma’ karya Abu Ishaq atau terkadang membaca kitab Al-Muntakhab karya Fakhruddin Ar-Razy), 1 materi di bidang Asma’ul Rijal (kitab yang menerangkan tentang perawi hadits), 1 materi di bidang Teologi, dan 1 materi lagi di bidang Nahwu.

Kemudian beliau Imam Nawawi menambahkan, "Semua buku yang saya baca tadi, saya komentari, terkadang men-syarah kalimat-kalimat yang sulit, menjelaskan beberapa makna, atau mengkoreksi susunan bahasanya. Semoga Alloh selalu memberkahi waktuku."

Abu Al-Atthar menyebutkan gurunya Imam Nawawi pernah bercerita kepadanya bahwa beliau tidak pernah mensia-siakan waktunya sekejap pun. Waktu beliau selalu habis untuk menuntut ilmu, bahkan di jalan pun beliau selalu membaca dan hal itu berlangsung selama 6 tahun.

Beliau juga mengarang, mengajar dan memberikan nasehat-nasehat dalam hal kebaikan. Sehari semalam beliau hanya makan sekali pada akhir Isya’ (menjelang waktu sahur), begitu juga dengan minum.