Wednesday, January 14, 2009

Kisah Seorang Pencuri Terong

Di Damaskus, ada sebuah mesjid besar, namanya mesjid Jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah masjid yang penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di masjid itu ada seorang syeikh pendidik yang alim dan mengamalkan ilmunya. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.

Saat itu ada pemuda yang bertempat di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak mempunyai makanan ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya pada kondisi seperti ini.

Masjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada disampingnya. Hal ini memungkinkan sesorang pindah dari rumah pertama sampai terakhir dengan berjalan diatas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah kerumah sebelah. Di situ dia melihat orang-orang wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.

Rumah-rumah dimasa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah berada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada disitu. Dilihatnya sebuah terong besar dan sudah dimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya, digigitlah terong yang ada ditangannya dan saat itu dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya. Langsung dia berkata, 'A'udzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di mesjid , pantaskah aku masuk kerumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?' Dia merasa bahwa ini adalah kesalahan besar, lalu dia menyesal dan beristigfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada ditangannya. Akhirnya dia pulang kembali ketempat semula. Lalu ia masuk kedalam masjid dan mendengarkan syeikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia tidak dapat memahami apa yang dia dengar.

Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab saat itu memang tidak ada perempuan kecuali dia memakai hijab, kemudian perempuan itu berbicara dengan syeikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syeikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggilah ia dan syeikh itu bertanya, 'Apakah kamu sudah menikah?', dijawab, 'Belum,'. Syeikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Syeikh mengulangi lagi pertanyaannya. Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya Syeikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?'. Syeikh itu menjawab, 'Wanita ini datang membawa kabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini. Di sini bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata syeikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokkan. Syeikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang. Maukah kau menikah dengannya? Pemuda itu menjawab 'Ya'. Kemudian Syeikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab 'Ya'. Maka Syeikh itu mendatangkan pamannya dan dua orang saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syeikh itu berkata, 'peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dan sang isteri membawanya kerumahnya. Setelah keduanya masuk kedalam rumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.

Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan?' 'Ya' jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci didapurnya. Saat melihat buah terong didalamnya dia berkata: 'heran siapa yang masuk kerumah dan menggigit terong ini?!'. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinya berkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu.

(Sumber: Alsofwah.or.id)

Kisah Pemuda zuhud

Abdullah bin Al-Faraj adalah seorang yang tekun beribadah dan dikenal sebagai orang yang shalih. Dia hidup pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.

Suatu ketika Abdullah bin Al-Faraj mempunyai barang-barang yang harus dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam rumahnya. Untuk mengerjakan hal tersebut, ia memerlukan seorang pekerja serabutan. Maka ia pun segera pergi ke pasar untuk mencarinya. Setelah mencari ke sana ke mari di dalam pasar, akhirnya ia menemukan seorang pemuda berwajah pucat pasi sedang membawa keranjang besar dan sekop. Pemuda itu mengenakan jubah dan selembar kain sarung yang keduanya terbuat dari bulu domba. Maka Abdullah menghampiri pemuda tersebut dan bertanya kepadanya, “Maukah engkau bekerja untukku?”
“ya,” jawab pemuda itu singkat.
“Berapa imbalannya yang kau minta?” tanya Abdullah kepadanya.
“Satu seperenam dirham,” jawab pemuda itu singkat.
“Baiklah kau dapat bekerja untukku” kata Abdullah.
Tiba-tiba pemuda itu berkata,”Ada satu syarat!”
“Apa syarat yang engkau minta?” jawab Abdullah.
“Bila waktu shalat dzuhur telah tiba dan mu’adzin telah pula mengumandangka adzan, aku akan keluar untuk mengambil air wudlu dan kemudian menunaikan shalat berjama’ah di masjid, setelah itu aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Demikian juga bila telah tiba waktu shalat ashar,” jawab pemuda itu tersebut.
“Ya boleh,”Jawab Abdullah singkat.

Setelah berkata demikian, Abdullah bin Al-Faraj pun mengajaknya pulang ke rumah untuk memulai pekerjaannya. Sesampainya di rumah, pemuda itu pun segera bekerja memindahkan barang-barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia bekerja dengan rajin dan tidak pernah sedikitpun mengajak Abdullah berbicara. Ketika adzan dzuhur telah dikumandangkan, pemuda tadi lalu berkata kepada Abdullah, “Wahai Abdullah Mu’adzin telah mengumandangkan adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah kepadanya.

Pemuda itu pun segera keluar menuju ke masjid untuk segera menunaikan shalat dzuhur berjama’ah bersama kaum muslimin termasuk Abdullah. Ketika keperluannya di masjid sudah selesai, pemuda itu segera kembali pergi kerumah Abdullah bin Al-Faraj. Di sanapun ia bekerja kembali dengan rajin sepanjang siang.

Waktu ashar pun tiba, dan adzan untuk mengajak kaum muslimin shalat berjama’ah di masjid pun berkumandang. Maka pemuda itu pun menghentikan pekerjaannya, dan berkata kepada Abdullah, sang Mu’dzin telah mengumandangkan adzan!”
“Silahkan” kata Abdullah.

Pemuda itupun keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat Ashar bersama kaum muslim lainnya.. usai menunaikan shalat ia pun kembali meneruskan pekerjaannya hingga hari menjelang sore. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Abdullah pun menyerahkan upahnya dan menyuruhnya pulang.

Selang beberapa hari kemudian, Abdullah bin Al-Faraj membutuhkan lagi seorang pekerja serabutan. Istrinya pun berkata kepadanya, “Carilah kembali pemuda yang pernah bekerja kepada kita, karena lewat pekerjaannya itu dia telah banyak memberikan nasihat kepada kita !”

Mendengar saran istrinya tersebut, Abdullah segera pergi kepasar. Sesampainya di pasar, dicarinya pemuda berwajah pucat pasi yang beberapa hari yang lalu pernah bekerja di rumahnya. Namun setelah ia mencarinya kesana kemari, tak ditemukannya pemuda itu. Maka bertanyalah Abdullah kepada orang-orang dipasar perihal pemuda tersebut. Mereka yang ditanyai oleh abdullah menjawab, “Mengapa Anda menanyakan si pemuda pucat yang celaka itu? Dia datang kesini hanya setiap hari sabtu dan kedatangannya itu pun hanya sekedar untuk duduk saja hingga semua orang kembali ke rumah masing-masing”. Mendengar jawaban mereka, Abdullah memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan memutuskan akan mencarinya lagi pada hari sabtu.

Pada hari sabtu, Abdullah bin Al-Faraj pergi ke pasar untuk mencari pemuda tersebut. Ternyata memang benar kata orang-orang, pemuda itu memang berada di sana. Segeralah Abdullah bin Al-Faraj menghampirinya dan menanyainya, “Maukah engkau bekerja lagi untukku?”
“Aku yakin Anda telah mengetahui berapa upah dan syarat-syarat yang kuajukan kepada Anda,” jawab pemuda itu.
“Mengenai hal tersebut, aku telah memohon petunjuk kepada Allah,” kata Abdullah.

Pemuda itu pun berdiri dan mengikuti Abdullah bin Al-Faraj ke rumahnya. Setelah sampai di rumah, pemuda itupun segera bekerja dengan rajin sebagaimana dulu pernah dipekerjakan untuk Abdullah bin Al-Faraj. Sama seperti dulu pula, ketika adzan dzuhur dan ashar berkumandang, pemuda itupun minta izin kepada Abdullah untuk menunaikan shalat berjama’ah di mesjid.

Setelah sore, maka Abdullah pun memberikannya upah sebesar yang telah disepakati. Ternyata Abdullah puas terhadap pekerjaan pemuda tersebut akan diberi upah sekaligus tipsnya, pemuda itu mengambil upahnya dan menolak tips yang diberikan oleh Abdullah bin AL-Faraj.

Beberapa waktu kemudian, Abdullah membutuhkan tenaganya kembali. Dan sesuai dengan pengetahuan yang ia ketahui, maka Abdullah pun mencarinya di pasar pada hari sabtu. Tetapi setelah dicarinya ke sana ke mari di sekitar pasar, pemuda sederhana itu tidak ditemukannya. Lalu, ia pun bertanya kepada orang-orang yang berada di pasar tentang pemuda itu, dan salah seprang menjawab, “Dia sedang sakit.”

Orang itupun menambahkan, “Pemuda itu tiap sabtu selalu datang ke pasar ini dan dia selalu berkerja dengan imbalan satu seperenam dirham. Dengan uang satu seperenam dirham itulah dia dapat makan setiap hari. Dan kini dia sedang menderita sakit.”
Maka Abdullah pun menanyakan alamat rumah tersebut kepada orang itu. Setelah orang itu memberikan alamatnya, Abdullah segera menuju ke kediaman pemuda yang sedang ia cari tersebut. Ternyata pemuda itu tinggal si sebuah rumah milik seorang wanita yang telah lanjut usia. Ketika wanita lanjut usia itulah yang ditemui oleh Abdullah pertama kali, maka Abdullah pun bertanya kepadanya, “Benarkah di sini kediaman seoran pemuda yang suka melakukan perkejaan serabutan ?”

“Sejak beberapa hari ini dia menderita sakit,” jawab wanita renta itu dengan suara tuanya.

Abdullah pun meminta izin kepada wanita tua itu untuk menemuinya. Wanita renta itu segera mempersilahkan Abdullah masuk dan menunjukkan tempat pemuda tersebut berada. Ternyata benar, pemuda berwajah pucat pasi itu sedang berbaring sakit keras dengan berbantal sebuah batu bata.
“Assalamu’alaikum,” sapa Abdullah kepadanya.
“Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawab pemuda tersebut.
Abdullah segera bertanya kepadanya,”Adakah yang bisa kubantu untukmu?”
“Ya, jika Anda bersedia,” kata Abdullah.
“Jika aku telah meninggal dunia nanti, tolong jualkan sekop ini. Tolong cucikan jubah bulu dan kain sarung ini. Lalu gunakan kedua kainku ini untuk mengafaniku. Sobeklah saku jubah ini kerena didalamnya ada sebuah cincin. Tanyakan kapan Khalifah Harun Ar-Rasid keluar dari istananya. Bila Anda sudah mengetahuinya, hadanglah dia dan ajaklah dia berbicara serta tunjukanlah cincin itu kepadanya, niscaya dia akan memanggil Anda. Jika Anda sudah menghadapnya, serahkanlah cincin itu kepadanya. Ingat ! Ini harus dilakukan setelah aku dimakamkan nanti!” kata pemuda itu.

“Ya,” jawab Abdullah menyanggupinya.

Kemudian pemuda itu sakit keras selama beberapa waktu dan akhirnya meninggal dunia. Abdullah bin Al-Faraj pun segera menunaikan apa yang diwasiatkan olehnya; menjual sekopnya kemudian mencuci jubah dan sarungnya serta menggunakan kedua kain itu sebagai kain kafan jenazahnya. Setelah jenazah pemuda itu dimakamkan, maka Abdullah pun aktif mencari informasi kapan Khalifah Harum Ar-Rasyid keluar dari istananya.

Setelah mencari-cari tentang hal tersebut, akhirnya tahulah Abdullah kapan Khalifah akan keluar dari istananya. Maka pada hari yang telah dinanti-nantikannya itu, Abdullah segera mencari jalan yang akan dilalui oleh sang Khalifah dan duduk di tepi jalan tersebut. Akhirnya terlihatlah rombongan Khalifah Harun Ar-Rasid semakin dekat dengan tempat ia duduk. Ketika sang Khalifah melintas di depannya, Abdullah segera berteriak,”Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai sebuah titipan untuk tuan !”seraya dia tunjukkan cincin milik pemuda itu.

Ketika Khalifah mendengar seruan tersebut dan melihat cincin yang dipegang Abdullah, segera saja Khalifah dan mengajaknya naik ke atas kendaraannya. Rombongan Khalifah segera pulang menuju istana sedangkan Abdullah belum juga diajak bicara oleh Khalifah sehubungan dengan tindakannya tadi.

Sesampainya di istana, Khalifah Harun Ar-Rasyid memanggil Abdullah bin Al-Faraj untuk menghadapnya. Abdullah pun segera masuk ke ruangan di mana Khalifah berada. Ketika dia sudah masuk, Khalifah lalu memerintahkan semua orang yang ada agar meninggalkan ruangan.

Semua yang ada di situ pun bergegas keluar meninggalkan Abdullah seorang diri di hadapan Khalifah. Ruangan menjadi sunyi senyap. Pertanyaan Khalifah Harun Ar-Rasyid memecah suasana tersebut, “Siapakah Anda ?”
“Abdullah bin Al-Faraj.”
“Dari mana Anda mendapatkan cincin ini ?” tanya Khalifah kepada Abdullah.
Mendengar pertanyaan tersebut, Abdullah menjawabnya dengan bercerita tentang pertemuannya dengan seorang pemuda berwajah pucat pasi hingga kematian pemuda itu.

Mendengar cerita yang dituturkan oleh Abdullah, seketika itu pula Khalifah Harun Ar-Rasyid menangis. Tangisan beliu membuat Abdullah merasa iba kepadanya. Setelah tangis Khalifah agak reda, Abdullah merasa yang tidak tahu mengapa Khalifah menangis ketika mendengar ceritnya, akhirnya bertanya kepada sang Khalifah, “Wahai Amirul-Mukminin, adakah hubungan Anda dengannya ?”

“Dia adalah putraku,” jawab sang Khalifah.
“Bagaimana mungkin itu terjadi ?” tanya Abdullah heran memohon penjelasan.
“Dia lahir sebelum aku mendapatkan ujian menjadi Khalifah. Saat itu dia tumbuh dengan baik, rajin mempelajari Al-Qur’an, dan menuntut ilmu. Ketika aku telah diangkat menjadi Khalifah, dia pun pergi meninggalkanku dan tidak membawa sedikit pun bekal harta yang kumiliki. Kepada ibunya, aku lalu menyerahkan cincin ini. Ini adalah yaqut yang nilainya sangat mahal. Oleh ibunya, cincin ini lalu diberikan kepadanya, dengan tujuan agar suatu saat kelak cincin ini membawa manfaat baginya. Ibunya telah meninggal dunia, dan sejak itu aku tidak pernah mendengar berita tentang anakku dan baru sekarang ini engkau membawa berita perihal putraku itu,” kata Khalifah Harun Ar-Rasyid menjelaskan.
“Nanti malam, tolong antarkan aku ke makamnya !” kata Khalifah lagi.

Menjelang malam, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abdullah bin Al-Faraj berdua keluar dari istana berjalan kaku ke makam pemuda sederhana yang ternyata putra seorang Khalifah. Akhirnya, sampailah mereka di makan putra sang Khalifah, lalu Khalifah Harun Ar-Rasyid pun duduk bersimpuh di depan makam putranya sambil menangis pilu.

Mereka berdua terus berada di makam itu sepanjang malam. Hingga saat fajar mulai menyingsing, Khalifah pun mengajak Abdullah pulang seraya berkata, “Engkau harus berjanji kepadaku untuk bersedia datang setiap hari menemaniku ke makam putraku !”

Maka Abdullah pun berjanji kepada sang Khalifah. Sejak saat itu mereka selalu berangkat dan pulang bersama dari berziarah ke makam putra Khalifah Harun Ar-Rasyid. (assyd)

( Sumber : El Fata Edisi IV/ Tahun I, hal. 30 )

Tuesday, January 13, 2009

Hikmah Pengharaman Babi

Naluri manusia yang baik sudah tentu tidak akan menyukainya, karena makanan-makanan babi itu yang kotor-kotor dan najis. Ilmu kedokteran sekarang ini mengakui, bahwa makan daging babi itu sangat berbahaya untuk seluruh daerah, lebih-lebih di daerah panas. Ini diperoleh berdasarkan penyelidikan ilmiah, bahwa makan daging babi itu salah satu sebab timbulnya cacing pita yang sangat berbahaya. Dan barangkali pengetahuan modern berikutnya akan lebih banyak dapat menyingkap rahasia haramnya babi ini daripada hari kini. Maka tepatlah apa yang ditegaskan Allah:
"Dan Allah mengharamkan atas mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 156)
Sementara ahli penyelidik berpendapat, bahwa membiasakan makan daging babi dapat melemahkan perasaan cemburu terhadap hal-hal yang terlarang.

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.

Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"

Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.

Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."

Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.

Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."

Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.

Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr.Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131:
"Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"

Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.

Sumber :
Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern
Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Cet : I/1997
Penerbit: Gema Insani Press
Halal Wal Haram Syeikh Dr.Yusuf Qordhowi

Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd



Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Thantha, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen
sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1)
Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah (al-Ittijah al-'Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn 'Arabi' (Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda Muhyiddin ibn 'Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat at-Ta'wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi'i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang.

Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang
diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.

Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid 'Amru bin 'Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa' al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para
mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding.

Ulama al-azhar
Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau -- kalau yang
bersangkutan tidak mau -- ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya
dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Quran seperti 'arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka.

Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.

Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau.

Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah "tradisi reaksioner" serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.

Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.

Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.

Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.

Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW.

Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas "teks-teks agama".

Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Berbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya
memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan
tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.

Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika
Yahudi dan Islam. Pihak Amerika tidak mau ketinggalan.

Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan "the Freedom of Worship Medal" kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu
Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai 'berani' dan 'bebas' (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar. Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang
dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air
tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis.

Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma', bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu
diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar. Dalam otobiografinya yang diterbitkan, Voice of an Exile: Reflections on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger, 2004), Abu Zayd 'blak-blakan' mengungkapkan latar belakang dan sumber inspirasinya. Berikut ini cuplikannya.

Usai bermukim di AS
Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika ternyata membuahkan hasil. Di sanalah ia mengenal dan mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya,
hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka matanya: "My academic experience in the [United] States turned out to be quite fruitful. I did a lot of
reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for
me" (hlm. 95). Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk mengupas al-Quran.
Toh keduanya sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd.

Para sarjana Barat (Yahudi maupun Kristen) sejak lama telah menerapkan metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti metode textual criticism, source criticism, form criticism, dan sebagainya. Sebagaimana Bibel, al-Quran juga dinilai sebagai produk budaya setempat yang tidak terlepas dari konteks masyarakat, sejarah, dan zaman di mana ia lahir dan berkembang. Di situ tentu ada campur-tangan manusia. Berkata Abu Zayd: "Classical Islamic thought believes the Qur'an existed before it was revealed. I argue that the Qur'an is a cultural product that takes its shape from a particular time in history. The historicity of the Qur'an implies that the text is human. Because the text is grounded in history, I can interpret and understand that text. We should not be afraid to apply all the tools at our disposal in order to get at the meaning of the text" (hlm. 99).

Dengan menganggap al-Quran sama dengan Bibel, Abu Zayd lantas menurunkan status al-Quran -- bukan lagi Kalamullah. Baginya, al-Quran adalah sebuah teks,
tidak lebih dari itu. Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku: "The divine text became a human text at the moment it was revealed to Muhammad. How else could human beings understand it? Once it is in human form, a text becomes governed by the principles of mutability or change. The text becomes a book like any other. Religious texts are essentially linguistic texts. They belong to a specific culture and are produced within that historical setting. The Qur'an is
a historical discourse-it has no fixed, intrinsic meaning" (hlm. 97). Pendapat-pendapatnya mengenai hermeneutika, tekstualitas, dan historisitas al-Quran
ini diakuinya adalah 'oleh-oleh' hasil mukimnya di Amerika: "I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States" (hlm. 101).

Orang seprti Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu
baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.

Sumber :
Republika,di tulis oleh Dr. Syamsuddin Arif.2004

Hukum Onani (Masturbasi)

Kadang-kadang darah pemuda bergelora, kemudian dia menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya alat kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora itu menurun. Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama onani (bahasa Arabnya: istimna' atau adatus sirriyah).
Kebanyakan para ulama mengharamkan perbuatan tersebut, di antaranya Imam Malik. Beliau memakai dalil ayat yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7)
Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya.Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Tetapi ulama-ulama Hanafiah memberikan Batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu menikah.
Pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari)

Monday, January 12, 2009

Diamnya Orang yang Mampu Bekerja adalah Haram

Setiap muslim tidak halal bermalas-malas bekerja untuk mencari rezeki dengan dalih karena sibuk beribadah atau tawakkal kepada Allah, sebab langit ini tidak akan mencurahkan hujan emas dan perak.
Tidak halal juga seorang muslim hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang, padahal dia masih mampu berusaha untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan keluarga serta tanggungannya. Untuk itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna." (Riwayat Tarmizi)
Dan yang sangat ditentang oleh Nabi serta diharamkannya terhadap diri seorang muslim, yaitu meminta-minta kepada orang lain dengan mencucurkan keringatnya. Hal mana dapat menurunkan harga diri dan karamahnya padahal dia bukan terpaksa harus minta-minta.
Kepada orang yang suka minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Orang yang minta-minta padahal tidak begitu memerlukan, sama halnya dengan orang yang memungut bara api." (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah dalam sahihnya)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya tanpa sesuatu yang menghajatkan, maka berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat, dan batu dari neraka yang membara itu dimakannya. Oleh karena itu siapa yang mau, persedikitlah dan siapa yang mau berbanyaklah." (Riwayat Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
"Senantiasa minta-minta itu dilakukan oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Suara yang keras ini dicanangkan oleh Rasulullah, demi melindungi harga diri seorang muslim dan supaya seorang muslim membiasakan hidup yang suci serta percaya pada diri sendiri dan jauh dari menggantungkan diri pada orang lain.

sumber :
halal wal haram Syeikh Dr.Yusuf Qordhowi

Bekerja dan Usaha

Firman Allah:
"Dialah zat yang menjadikan bumi ini mudah buat kamu. Oleh karena itu berjalanlah di permukaannya dan makanlah dari rezekinya." (al-Mulk: 15)
Ayat ini merupakan mabda' (prinsip) Islam. Bumi ini oleh Allah diserahkan kepada manusia dan dimudahkannya. Justru itu manusia harus memanfaatkan nikmat yang baik ini serta berusaha di seluruh seginya untuk mencari anugerah Allah itu.

Kapankah Minta-Minta Itu Diperkenankan?

Namun Rasulullah s.a.w. masih juga memberikan suatu pembatas justru karena ada suatu kepentingan yang mendesak. Oleh karena itu barangsiapa sangat memerlukan untuk meminta-minta atau mohon bantuan dari pemerintah dan juga kepada perorangan, maka waktu itu tidaklah dia berdoa untuk mengajukan permintaan.
Karena ada sabda Nabi:
"Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka, yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri, oleh karena itu barangsiapa mau tetapkanlah luka itu pada mukanya, dan barangsiapa mau tinggalkanlah, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain." (Riwayat Abu, Daud dan Nasa'i)
Qabishah bin al-Mukhariq berkata:
"Saya menanggung suatu beban yang berat, kemudian saya datang kepada Nabi untuk meminta-minta, maka jawab Nabi: Tinggallah di sini sehingga ada sedekah datang kepada saya, maka akan saya perintahkan sedekah itu untuk diberikan kepadamu. Lantas ia pun berkata: Hai Qabishah! Sesungguhnya minta-minta itu tidak halal, melainkan bagi salah satu dari tiga orang: (1) Seorang laki-laki yang menanggung beban yang berat, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia dapat mengatasinya kemudian sesudah itu dia berhenti. (2) Seorang laki-laki yang ditimpa suatu bahaya yang membinasakan hartanya, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard untuk hidup. (3) Seorang laki-laki yang ditimpa suatu kemiskinan sehingga ada tiga dari orang-orang pandai dari kaumnya mengatakan: Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan, maka halallah baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan suatu standard hidup. Selain itu, meminta-minta hai Qabishah, adalah haram, yang melakukannya berarti makan barang haram." (Riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasa'i)

Hukum Menyemir Rambut

Termasuk dalam masalah perhiasan, yaitu menyemir rambut kepala atau jenggot yang sudah beruban.
Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)
Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.
Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya

Jaga Harga Diri dengan Bekerja

Nabi menghapuskan semua fikiran yang menganggap hina terhadap orang yang bekerja, bahkan beliau mengajar sahabat-sahabatnya untuk menjaga harga diri dengan bekerja apapun yang mungkin, serta dipandang rendah orang yang hanya menggantungkan dirinya kepada bantuan orang lain.
Maka sabda Nabi:
"Sungguh seseorang yang membawa tali, kemudian ia membawa seikat kayu di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang diminta itu memberi atau menolaknya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Untuk itu setiap muslim dibolehkan bekerja, baik dengan jalan bercocok-tanam, berdagang, mendirikan pabrik, pekerjaan apapun atau menjadi pegawai, selama pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dilakukan dengan jalan haram, atau membantu perbuatan haram atau bersekutu dengan haram.