Thursday, March 19, 2009

Hukum Bayi Tabung

Yaitu pengambilan sel telur oleh seorang dokter spesialis saat keluar dari rahim seorang wanita dengan bantuan teleskop. Sang dokter kemudian menyimpan sel telur itu ke dalam sebuah tabung percobaan dan dicampur dengan air mani suaminya. Campuran yang telah disimpan dalam tabung itu kemudian disimpan dalam udara alami untuk menjalani proses pencangkokan (memprosesnya menjadi zygote, Penj.). Setelah pembuahan diproses, hasilnya kemudian ditransfer ulang ke dalam rahim seorang isteri. Proses selanjutnya adalah mengandung janin sebagaimana proses yang alamiah.
Cara ini biasanya dilakukan manakala sang suami tidak memiliki kekuatan (baca: lemah syahwat, Penj.) untuk melakukan hubungan biologis atau disebabkan lemahnya penetrasi air mani hingga sulit mencapai sel telur. Seperti misalnya terkena penyakit impotensi, lemah syahwat, cepat keluar, dan penyakit lainnya. Adapun penyebab dari pihak perempuan, misalnya karena sempitnya lubang vagina yang mengakibatkan air mani sang suami tidak sampai pada rahimnya di saat bersetubuh, atau juga karena lemahnya penetrasi suami dalam bentuk yang alami.
Pencangkokan bayi tabung ini hukumnya boleh selama dengan syarat: air mani diambil dari suami sang isteri, ditangani dokter Muslim yang saleh, dan menjamin masa depan kemaslahatan suami-isteri terpelihara.Wallohu alam bishowab



sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo

Hukum Operasi Mengebiri Kemaluan1

Adalah operasi yang berlaku bagi laki-laki maupun perempuan (hal ini berlaku juga pada hewan dan binatang, Penj.) yang bertujuan agar setiap mereka bisa mandul sehingga tidak memiliki kecenderungan dan kemampuan untuk mengandung dan mempunyai anak. Sekalipun memang tidak terdapat bahaya yang yang mengancam nyawa seorang laki-laki maupun perempuan, Islam melarang hal itu dan tidak memperbolehkannya secara mutlak.
Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Mas’ud, beliau berkata:
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw., dan isteri kami tidak menyertai. Lalu kami berkata, ‘Apakah kami harus mengebiri (kemaluan) kami?’ Namun, Rasulullah ternyata melarang cara tersebut…”2.Wallohu alam bishowab

sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo

1 Yaitu operasi untuk menghilangkan kelenjar testis (pada lelaki maupun hewan jantan) agar tidak memproduksi mani, atau memotong sel ovarium (pada wanita maupun hewan betina) agar menjadikannya mandul, [Penj.].
2 HR. Bukhârî-Muslim.

Hukum Sewa Rahim1

Yaitu kesepakatan suami isteri untuk menyewa rahim wanita lain dalam memproses air mani sang suami dengan sel telur isterinya. Diproseslah janin itu di dalam rahim wanita tersebut berikut pemberian makanan dari darahnya sendiri. Setelah melahirkan, bayi itu harus diserahkan kepada pemilik yang menyewanya. Ia selanjutnya hanya berhak mendapatkan upah dalam jumlah tertentu. Sewa rahim ini biasanya dilakukan jika sang isteri mandul atau kerentanan rahimnya saat harus mengandung, dan terjadi juga dengan sebab-sebab yang lainnya. Para ulama telah mengharamkan cara ini. Dr. Yusuf Qardlawi pun memfatwakan demikian dalam soal ini.2
Di antara yang dikatakan Syekh Qardlawi kurang lebih sebagai berikut:
“Syari’at Islam telah menggariskan dua kaidah utuh yang saling menyempurnakan satu sama lain. Pertama, kemadaratan itu mesti dihilangkan sesuai kemampuan maksimal. Kedua, kemadaratan itu tidak bisa hilang dengan melahirkan kemadartan baru. Apabila dua kaidah itu menjadi landasan dasar pada persoalan yang tengah kita bicarakan ini, maka kita akan mendapatkan kesimpulan, kita dapat menghilangkan kemadaratan sang isteri yang notabene paling berhak untuk mengandung dengan menimpakan kemadaratan pada wanita yang lain. Sebab, dialah yang kemudian harus mengandung dan melahirkan tanpa menikmati hasil dari apa yang dikandungnya, kelahirannya, maupun pengasuhannya. Kita sesungguhnya tengah memecahkan suatu masalah justru dengan menimbulkan masalah yang baru.”
Dengan demikian, cara tersebut dapat menghilangkan sifat keibuan seseorang. Seseorang disebut ibu justru karena dialah yang mengandung dan melahirkan anak kandungnya. Siapa saja orang yang tidak mengandung dan melahirkan anaknya, mereka itu tidak layak dinamakan seorang ibu. Sebab, seorang ibu yang hakiki adalah mereka yang mengandung dan melahirkan anaknya. Dr. Yusuf Qardlawi dalam hal ini berkomentar:
“Penemuan baru ini tidak diperbolehkan dalam fikih Islam. Ajaran Islam sama sekali tidak menyepakati dan memperkenankan mengingat dampak maupun akibat yang kelak terjadi. Bahkan fikih Islam cenderung melarang praktek seperti ini.”
Dalam bahasan yang sama, Dr. Hissan Hathut berkata:
“Cara itu terlarang dalam ajaran Islam. Sebab, dalam prosesnya, praktik tersebut melibatkan tiga pihak sekaligus, bukan terjadi antara pasangan suami-isteri saja. Persoalan yang cukup pelik ini tetap saja tidak sukses dipraktikkan oleh dunia Barat. Bahkan, selanjutnya kerap terjadi ketika sang ibu (yang disewa) telah mengandung dan melahirkan anaknya, ia kemudian malah merubah pikirannya untuk mengakui anaknya tersebut.
Lebih dari itu, penyewaan ini berimbal sejumlah uang. Sungguh sejarah baru dalam dunia manusia seorang perempuan mengandung anaknya sendiri dan rela melepaskan diri dari kepengurusan anaknya hanya karena sejumlah imbalan. Dengan begitu, jatuhlah nilai-nilai keibuan yang mulia itu menjadi sebatas angka-angka nominal.”3
Bukanlah hal aneh jika hal itu kerap terjadi dalam negara-negara yang berperadaban materialis dan ateis. Sebab, norma-norma moral tidak dikenal dalam kamus mereka kecuali dalam beberapa hal yang sangat terbatas.Wallohualam bishowab


sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo


1 Dalam istilah kedokteran biasanya disebut sebagai, “Surrogate Mother” (ibu pengganti), [Penj.].
2Ibid., fatwa tambahan, hal.567-575.
3 Dr. Hissan Hathut, “Risâlah ilâ ‘l-‘Aql-i ‘l-‘Arâb-î al-Muslim,”

Hukum Proses Kehamilan Dari Kelenjar Endocrine Orang Lain

Yaitu:
“Proses pengambilan air mani dari seorang lelaki maupun sel telur dari seorang wanita di saat salah satu dari pasangan suami isteri tidak mampu memproduksi air mani maupun sel telur. Mengambil dan memindahkan kelenjar dari orang lain itu hukumnya tidak boleh. Sebab, dapat mengakibatkan bercampurnya unsur genetik dari orang lain sehingga mewariskan sejumlah gen yang berbeda dari sang suami maupun isterinya. Jika hal itu terjadi, maka hal tersebut justru merupakan kontrak perkawinan dalam bentuk yang sangat aneh.”1
Dr. Yusuf Qardlawi menegaskan:
“Menurut pendapat saya, pengambilan sperma/sel telur (dari orang lain) itu hukumnya tidak boleh. Para pakar dan ilmuwan menyebutkan bahwa air mani/sel telur itu merupakan sel yang mewariskan unsur genetik tertentu dari sifat maupun perilaku seseorang…Dalam proses pembuahan di dalam tubuh seseorang, tentunya yang kelak menjadi keturunannya –saat dikandung—mewariskan sifat-sifat yang sesuai dengan pemilik air mani orang lain…Proses ini dianggap sebagai salah satu bentuk perkawinan yang dilarang dalam syari’at, apapun caranya. Maka dari itu
Islam mengharamkan perbuatan zina, mengakui anak angkat (baca: adopsi/tabannî, Penj.) sebagai anak sendiri, menisbatkan seorang anak pada seseorang yang bukan ayahnya, dan yang lainnya…”2.Wallohu alam bishowab


sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo


1 Dr. Hissan Hathut, Ibid.
2 Fatâwâ Mu’âshirah, op. cit., Jilid II, hal. 529.

Haramnya Menyetubuhi Isteri Yang Sedang Haid dan Nifas

Diharamkan bagi seorang suami menyetubuhi isterinya yang sedang haid berdasarkan firman Allah Swt.: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”1Anas bin Malik, Ra., berkata: “Adalah kebiasaan orang-orang Yahudi apabila isterinya haid mereka tidak diberi makanan dan tidak menggaulinya di dalam rumah-rumah mereka. Para sahabat menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Allah kemudian menurunkan ayat, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang haid…’. Rasulullah bersabda, ‘Berbuatlah semaunya kecuali bersetubuh…”2Rasulullah Saw. menegaskan, seorang perempuan yang sedang haid itu boleh digauli selain bersetubuh. Terlebih memberinya makan, memperlakukannya secara baik, dan bergaul bersamanya sebagaimana biasa. Dalam praduga sebagian orang, barangkali maksud dari ayat, “Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,” seolah menunjuk ketidakbolehan dalam menyentuh dan memperlakukan mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:
“Tatkala Rasulullah Saw. berada di dalam masjid, ia berkata: ‘Wahai Aisyah, ambillah untukku baju itu.’ Aisyah menjawab, ‘Saya sedang haid.’ Beliau pun bersabda, ‘Itu adalah haidmu dan bukan tanganmu.”3
Para fukaha telah bersepakat (ijmâ’/konsesnsus), bahwa menyetubuhi isteri yang sedang nifas itu hukumnya haram. Hal ini diqiyâskan kepada haid. Allah mengharamkan bersetubuh di saat haid dan nifas, tentunya dengan hikmah yang sangat jelas. Terlebih dalam mencegah penyakit berbahaya yang diakibatkan bersetubuh pada masa itu. Sebuah penyakit yang berbahaya yang kerap diperingatkan para dokter.
Dr. Hamid Al-Ghawabi berkata:
“Sungguh jelas, vagina seorang wanita saat itu kerap mengeluarkan cairan khusus. Cairan ini mengandung zat asam reaktif yang terdiri dari zat asam leavenic.4 Cairan ini akan mencegah tumbuhnya bakteri-bakteri (di dalam rahim). Apabila zat ini kemudian menjadi semacam zat alkali5atau setengah bereaksi, maka bakteri-bakteri yang merusak yang menempel serta membahayakan vagina dan rahim itu dapat dihilangkan. Kotoran tersebut mengalir dalam seluruh alat kelamin wanita. Adanya darah pada saat haid, menjadi pembasmi zat asam ini hingga tidak sampai menjadi zat alkali yang terus tumbuh berkembang hingga menjadi bakteri yang membahayakan. Pada saat bersetubuh, bakteri-bakteri yang berbahaya itu akan terus mengalir di dalam lorong kemaluan, terkadang juga mengalir melalui kandung kemih, dua payudara, atau melalui prostat,6 dua biji kemaluan, maupun alat anggota reproduksi lainnya. Zat inilah yang sering menyebabkan sakit saat kencing, bahkan tak jarang menyebabkan kemandulan.”7
Zat ini bukan saja bahaya bagi pihak lelaki saja, tetapi juga bagi perempuan.
“Hubungan seksual merupakan cara effektif dalam menularkan kuman (microbic) yang merupakan bagian dari bakteri-bakteri yang ada di dalam vagina wanita itu. Tengah-tengah lubang vagina di saat haid dapat mempersubur pertumbuhannya…Sehingga, dapat menginfeksi seluruh alat reproduksi dan terkadang dapat mengakibatkan kemandulan.”8
Karenanya, ditegaskan dalam sebuah hadits:
“Terlaknat orang yang menyetubuhi orang haid atau (menyetubuhi) seorang perempuan dari duburnya (baca: anus, Penj.).”9
Diperbolehkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya yang sedang haid selain apa yang tertutupi kain. Yaitu, selain apa yang terletak antara pusar dan lutut. Diriwayatkan dari Maimunah Ummul Mukminin, ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. apabila hendak menggauli salah seorang isteri dari isteri-isterinya, ia menyuruhnya agar memakai kain sementara ia sedang haid.”10
Demikian pula dengan pendapat kebanyakan para ulama yang membolehkan suami menggauli isterinya yang sedang haid, selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Perbuatlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.”11

Menurut riwayat dari salah seorang isteri Rasulullah Saw., disebutkan: “Adalah Rasulullah Saw. ketika beliau menginginkan sesuatu dari isterinya yang sedang haid, maka ia mengenakan padanya kain penutup pada kemaluannya.”12
Berikut ini pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan yang lainnya:
“Apabila isteri telah suci dari masa haidnya, maka mandilah! Mulai dari saat itulah diperbolehkan bagi seorang suami untuk menyetubuhinya,13 menunaikan shalat, berpuasa, dan halal pula apa yang diharamkan bagi orang yang haid. Akan tetapi jika sang suami benar-benar menyetubuhi isterinya yang sedang haid sungguh merupakan dosa besar. Tetapi, apakah dalam kasus tersebut ia mesti menunaikan kaffârat (bayar denda/sanksi) ataukah cukup sebatas memohon ampunan dan bertaubat secara benar-benar? Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling kuat adalah pendapat ulama jumhûr.14 Yaitu, cukup hanya dengan taubat dan istighfar, serta tidak mengulangi perbuatan yang sama selamanya. Sementara pendapat yang lainnya mengatakan, di samping mesti bertaubat dan beristighfar, juga disyaratkan untuk membayar sedekah sebesar satu atau setengah dinar.”15
Imam Nawawi menjelaskan:
“Barangsiapa yang meyakini halalnya menyetubuhi orang yang sedang haid melalui kemaluannya, maka ia tergolong kafir yang murtad, adapun mengerjakannya padahal ia sebenarnya mengetahui bahwa hal itu diharamkan, maka ia benar-benar telah berbuat dosa besar.”Wallohu alam bishowab


sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo


1 QS. Al-Baqarah, [2]: 222.
2 HR. Muslim.
3 HR. Muslim.
4 Ragi atau adonan asam, [Penj.].
5 Zat kimia atau hidroksida dari logam Li, Na, K, Rb, dan Cs, yang bersaenyawa dengan zat asam dan merupakan garam, sering dipergunakan dalam pembuatan sabun. Zat pentotal ini bisa mengikis pembuluh darah, [Penj.].
6 Prostat atau anat adalah: “Kelenjar alat benih kelamin laki-laki yang letaknya melingkari bagian atas aliran kandung kemih dan berfungsi sebagai pengatur jalan antara kencing dan air mani (pada laki-laki tua kelenjar ini sering membesar sehingga bisa mengahambat pengeluaran air seni),” [Penj.].
7 Bayn-a al-Thibb wa al-Islâm, Dr. Hamid Al-Ghawabi, dalam bagian “Al-Muharramât Ma’a l-Nisâ’.”
8 Ibid.
9 HR. Abu Dawud dan yang lainnya.
10 HR. Bukhârî-Muslim.
11 HR. Muslim.
12 HR. Abu Dawud.
13 Inilah pendapat kebanyakan ulama jumhûr. Menurut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm, “Bahwasannya hal itu berlaku sejak darah haid telah berhenti pada masa klimaksnya. Bersetubuh diperbolehkan saat berhenti (darah haid) dan tidak perlu mandi terlebih dahulu (Maksudnya, karena semata hendak bersetubuh, akan tetapi maksud dari mandi tersebut tiada lain sebagai ibadah saja).”
14 Lihat catatan kaki sebelumnya, [Penj.].
15 Satu dinar kira-kira sama dengan kurang lebih 40 gram harga perak.

Bolehnya Menyetubuhi Orang Yang Istihadlah

Mustahâdlah atau orang yang istihâdlah ialah: “Orang yang darah haidnya sudah terhenti, tetapi ada darah lain yang berbeda dengan darah haid yang terus mengalir dari lubang yang sama.”
Bagaimanakah seorang wanita bisa memastikan bahwa masa darah haidnya tersebut telah berakhir? Ia tentunya terlebih dahulu harus mengenal darah haid. Ibnu Hazm (994-1064 M./384-456 H.) berkata:
“… demikianlah selamanya, saat ia melihat darah itu berwarna hitam, itulah darah haid. Dan tatkala ia melihat darah yang lainnya, maka sungguh ia telah suci. Hal itu hendaknya dihitung dari awal masa haid. Apabila darah itu berwarna hitam, itulah darah haid yang berlangsung maksimalnya hingga 17 hari. Tetapi jika lebih dari itu sedikit atau banyak darahnya itu bukanlah darah haid…”1
Dengan begitu, menurut pendapat Ibnu Hazm, darah haid itu berwarna hitam yang keluar dari kemaluan seorang wanita selain karena suatu penyakit. Adapun batas maksimal masa haid pada wanita di jamannya adalah 17 hari. Sementara dalam pendapat Abu Hanifah, batasan maksimal masa haid itu 10 hari, dan menurut Imam Malik dan Syafi’i batas maksimalnya adalah 15 hari.

Jelasnya, setiap mereka membatasi waktu maksimal masa haid itu berdasarkan ukuran keumuman wanita yang hidup pada jamannya masing-masing. Pendeknya, apabila seorang wanita bisa memastikan masa akhir haidnya kemudian ia ber-istihâdlah, maka terhitung sejak ia mengetahui hal ini, ia wajib mandi, shalat, dan kembali menunaikan ibadah.

Adapun jika ia tidak bisa memastikan masa akhir haidnya sementara darah istihâdlah terus mengalir, maka hendaknya ia menghitung masa-masa haid keumuman para wanita. Biasanya masa haid wanita pada jaman sekarang ini sebanyak tujuh hari. Seyogianya ia juga berkonsultasi kepada seorang dokter Muslim yang ahli dalam bidang tersebut.

Setelah masa haid berakhir, hendaklah ia segera mandi. Darah yang mengalir setelah itu tiada lain darah istihâdlah yang tidak membawa pengaruh apa-apa. Demikianlah cara bagi orang yang tidak bisa membedakan antara darah haid dan darah yang lainnya. Maka pahamilah cara di atas berikut penjelasannya.

Darah haid itu biasanya berwarna hitam dan baunya menyengat. Adapun darah yang mengalir setelah masa haid berakhir, dinamakan darah istihâdlah. Darah ini berwarna merah menyala dan agak kekuning-kuningan seperti air bekas mencuci daging sebagaimana yang telah digambarkan oleh Ibnu Hazm. Pada saat istihâdlah, sang suami boleh menyetubuhi isterinya. Sebab, tidak terdapat satu dalil pun yang mengharamkannya.

Ibnu Abbas berkata:

“Orang yang istihâdlah itu boleh disetubuhi suaminya, tetapi jika ia menunaikan shalat, maka shalat itu lebih utama.”2
Maksudnya, shalat adalah ibadah yang lebih utama daripada bersetubuh. Tetapi, bagaimana shalat itu diperbolehkan3 sementara bersetubuh tidak diperkenankan? Dan hendaknya orang yang istihâdlah itu menggunakan semacam kapas untuk menyerap darah yang terus mengalir. Hendaknya ia juga berwudu setiap kali hendak menunaikan shalat. Sebaiknya ia segera berobat agar darah tersebut cepat terhenti selama obat tersebut memang tidak membahayakan kesehatan dirinya.Wallohu alam bishowab

sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)



1 Al-Muhallâ, op. cit., Jilid II, hal. 199, Masalah No. 266.
2 HR. Bukhârî
3 Karena merupakan pertanda dari kesuciannya, [Penj.].
.