Diharamkan bagi seorang suami menyetubuhi isterinya yang sedang haid berdasarkan firman Allah Swt.: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”1Anas bin Malik, Ra., berkata: “Adalah kebiasaan orang-orang Yahudi apabila isterinya haid mereka tidak diberi makanan dan tidak menggaulinya di dalam rumah-rumah mereka. Para sahabat menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Allah kemudian menurunkan ayat, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang haid…’. Rasulullah bersabda, ‘Berbuatlah semaunya kecuali bersetubuh…”2Rasulullah Saw. menegaskan, seorang perempuan yang sedang haid itu boleh digauli selain bersetubuh. Terlebih memberinya makan, memperlakukannya secara baik, dan bergaul bersamanya sebagaimana biasa. Dalam praduga sebagian orang, barangkali maksud dari ayat, “Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,” seolah menunjuk ketidakbolehan dalam menyentuh dan memperlakukan mereka.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:
“Tatkala Rasulullah Saw. berada di dalam masjid, ia berkata: ‘Wahai Aisyah, ambillah untukku baju itu.’ Aisyah menjawab, ‘Saya sedang haid.’ Beliau pun bersabda, ‘Itu adalah haidmu dan bukan tanganmu.”3
Para fukaha telah bersepakat (ijmâ’/konsesnsus), bahwa menyetubuhi isteri yang sedang nifas itu hukumnya haram. Hal ini diqiyâskan kepada haid. Allah mengharamkan bersetubuh di saat haid dan nifas, tentunya dengan hikmah yang sangat jelas. Terlebih dalam mencegah penyakit berbahaya yang diakibatkan bersetubuh pada masa itu. Sebuah penyakit yang berbahaya yang kerap diperingatkan para dokter.
Dr. Hamid Al-Ghawabi berkata:
“Sungguh jelas, vagina seorang wanita saat itu kerap mengeluarkan cairan khusus. Cairan ini mengandung zat asam reaktif yang terdiri dari zat asam leavenic.4 Cairan ini akan mencegah tumbuhnya bakteri-bakteri (di dalam rahim). Apabila zat ini kemudian menjadi semacam zat alkali5atau setengah bereaksi, maka bakteri-bakteri yang merusak yang menempel serta membahayakan vagina dan rahim itu dapat dihilangkan. Kotoran tersebut mengalir dalam seluruh alat kelamin wanita. Adanya darah pada saat haid, menjadi pembasmi zat asam ini hingga tidak sampai menjadi zat alkali yang terus tumbuh berkembang hingga menjadi bakteri yang membahayakan. Pada saat bersetubuh, bakteri-bakteri yang berbahaya itu akan terus mengalir di dalam lorong kemaluan, terkadang juga mengalir melalui kandung kemih, dua payudara, atau melalui prostat,6 dua biji kemaluan, maupun alat anggota reproduksi lainnya. Zat inilah yang sering menyebabkan sakit saat kencing, bahkan tak jarang menyebabkan kemandulan.”7
Zat ini bukan saja bahaya bagi pihak lelaki saja, tetapi juga bagi perempuan.
“Hubungan seksual merupakan cara effektif dalam menularkan kuman (microbic) yang merupakan bagian dari bakteri-bakteri yang ada di dalam vagina wanita itu. Tengah-tengah lubang vagina di saat haid dapat mempersubur pertumbuhannya…Sehingga, dapat menginfeksi seluruh alat reproduksi dan terkadang dapat mengakibatkan kemandulan.”8
Karenanya, ditegaskan dalam sebuah hadits:
“Terlaknat orang yang menyetubuhi orang haid atau (menyetubuhi) seorang perempuan dari duburnya (baca: anus, Penj.).”9
Diperbolehkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya yang sedang haid selain apa yang tertutupi kain. Yaitu, selain apa yang terletak antara pusar dan lutut. Diriwayatkan dari Maimunah Ummul Mukminin, ia berkata:
“Adalah Nabi Saw. apabila hendak menggauli salah seorang isteri dari isteri-isterinya, ia menyuruhnya agar memakai kain sementara ia sedang haid.”10
Demikian pula dengan pendapat kebanyakan para ulama yang membolehkan suami menggauli isterinya yang sedang haid, selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Perbuatlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.”11
Menurut riwayat dari salah seorang isteri Rasulullah Saw., disebutkan: “Adalah Rasulullah Saw. ketika beliau menginginkan sesuatu dari isterinya yang sedang haid, maka ia mengenakan padanya kain penutup pada kemaluannya.”12
Berikut ini pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan yang lainnya:
“Apabila isteri telah suci dari masa haidnya, maka mandilah! Mulai dari saat itulah diperbolehkan bagi seorang suami untuk menyetubuhinya,13 menunaikan shalat, berpuasa, dan halal pula apa yang diharamkan bagi orang yang haid. Akan tetapi jika sang suami benar-benar menyetubuhi isterinya yang sedang haid sungguh merupakan dosa besar. Tetapi, apakah dalam kasus tersebut ia mesti menunaikan kaffârat (bayar denda/sanksi) ataukah cukup sebatas memohon ampunan dan bertaubat secara benar-benar? Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling kuat adalah pendapat ulama jumhûr.14 Yaitu, cukup hanya dengan taubat dan istighfar, serta tidak mengulangi perbuatan yang sama selamanya. Sementara pendapat yang lainnya mengatakan, di samping mesti bertaubat dan beristighfar, juga disyaratkan untuk membayar sedekah sebesar satu atau setengah dinar.”15
Imam Nawawi menjelaskan:
“Barangsiapa yang meyakini halalnya menyetubuhi orang yang sedang haid melalui kemaluannya, maka ia tergolong kafir yang murtad, adapun mengerjakannya padahal ia sebenarnya mengetahui bahwa hal itu diharamkan, maka ia benar-benar telah berbuat dosa besar.”Wallohu alam bishowab
sumber : Hadzâ Halâl-un Wa Hadzâ Harâm-un; Fî Al-Liqâ-I ‘l-Jawzayn
(Yang Halal dan Haram dalam Bersetubuh Tuntunan Praktis Bagi Suami-Isteri)
Adil Fathî Abdullâh, Dâr-u ‘l-Dzahabiyyah, Kairo
1 QS. Al-Baqarah, [2]: 222.
2 HR. Muslim.
3 HR. Muslim.
4 Ragi atau adonan asam, [Penj.].
5 Zat kimia atau hidroksida dari logam Li, Na, K, Rb, dan Cs, yang bersaenyawa dengan zat asam dan merupakan garam, sering dipergunakan dalam pembuatan sabun. Zat pentotal ini bisa mengikis pembuluh darah, [Penj.].
6 Prostat atau anat adalah: “Kelenjar alat benih kelamin laki-laki yang letaknya melingkari bagian atas aliran kandung kemih dan berfungsi sebagai pengatur jalan antara kencing dan air mani (pada laki-laki tua kelenjar ini sering membesar sehingga bisa mengahambat pengeluaran air seni),” [Penj.].
7 Bayn-a al-Thibb wa al-Islâm, Dr. Hamid Al-Ghawabi, dalam bagian “Al-Muharramât Ma’a l-Nisâ’.”
8 Ibid.
9 HR. Abu Dawud dan yang lainnya.
10 HR. Bukhârî-Muslim.
11 HR. Muslim.
12 HR. Abu Dawud.
13 Inilah pendapat kebanyakan ulama jumhûr. Menurut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm, “Bahwasannya hal itu berlaku sejak darah haid telah berhenti pada masa klimaksnya. Bersetubuh diperbolehkan saat berhenti (darah haid) dan tidak perlu mandi terlebih dahulu (Maksudnya, karena semata hendak bersetubuh, akan tetapi maksud dari mandi tersebut tiada lain sebagai ibadah saja).”
14 Lihat catatan kaki sebelumnya, [Penj.].
15 Satu dinar kira-kira sama dengan kurang lebih 40 gram harga perak.
ILUSI PENGETAHUAN (2)
6 days ago
No comments:
Post a Comment